Haul Bukan Sekedar Peringatan

Oleh : Ahmad Mundir

(Mahasiswa STAI Khozinatul ‘Ulum Semester VII)

 

Islam adalah agama kaya akan tradisi. Khususnya di Nusantara, seakan tiada bulan tanpa tradisi peringatan. Lebih-lebih bila datang bulan Muharram seperti ini, serentak tanpa komando umat Islam seluruh Nusantara menyambut bulan tersebut dengan aneka kegiatan yang berbau relegius, salah satunya adalah peringatan se-tahun terhadap orang yang telah lebih dahulu meninggalkan kita semua.

Dan peringatan tersebut biasanya lebih awam dikenal oleh masyarakat dengan sebutan haul, bila dilihat dari mata sejarah, sebenarnya tak bisa dilepaskan begitu saja dari warisan nenek moyang bangsa ini yaitu tradisi Hindu dan Budha. Kenapa bisa begitu? Sebagaimana yang kita tahu dengan cara bagaimana wali songo menyebarkan Islam, yang jelas mereka menyebarkannya tanpa ada unsur membuang jauh tradisi lama pribumi yang terkenal akan upacara, atau bahasa sederhananya peringatan baik itu peringatan terhadap orang sudah meninggal maupun lainnya. Lebih-lebih terhadap orang yang sudah meninggal, misal peringatan dengan istilah mitoni yaitu peringatan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang meninggal setelah tujuh hari dari kematian dan banyak lainnya.

Padahal, kita tahu di dalam Islam tidak terdapat istilah yang jelas anjuran untuk melakunan ritual seperti halnya mitoni (tujuh hari), matang puluhi (empat puluh hari), nyatusi (seratus hari), nyewuni (seribu hari) atau yang lebih marak dalam bulan ini yakni ngekholi (satu tahun), yang selama ini umat Islam Nusantara menjalankannya. Mungkin dari sinilah istilah itu mulai dipertanyakan, apakah itu berasal dari ajaran Islam atau hanya budaya warisan dari nenek moyang? Kalau kita melihat pernyataan sejarah di atas, membuktikan bahwa istilah itu muncul dari kebiasaan yang dilakukan oleh nenek moyang dan pada akhirnya menjadi tradisi yang dilestarikan. Akan tetapi pertanyaanya, apakah wali songo tidak mengetahui kalau di dalam ajaran Islam tidak terdapat anjuran jelas terkait ritual tersebut? Mungkin bisa ia ataupun tidak. Untuk itu marilah kita menengok sebuah kebiaasan yang dilakukan oleh umat Islam Nusantara, lebih-lebih yang berada di Jawa mereka sering kali berduyun-duyun datang ke sebuah makam, biasanya makam yang didatangi adalah makam para wali, kiai, atau tokoh kharismatik. Maksud dan tujuan kedatanganya pun bervariasi. Ada yang betul-betul tulus untuk sekedar ziarah, hingga sampai pada tujuan menyekutukan Allah. Semua itu berjalan sudah bertahun-tahun hingga menjadi sebuah keharusan, kalau tidak seperti itu kayaknya hidup di Jawa ini tidak lengkap.

Dengan melihat fenomena tersebut dalam beberapa versi sejarah penyebaran Islam di Jawa oleh wali songo yang pernah dibaca, penulis memiliki anggapan mereka memaknai dan menjadikan fenomena di atas sebagai sebuah kebiasaan yang seharusnya dilestarikan dengan bingkai tanpa ada penyekutuan terhadap Allah yaitu melalui memberikan bacaan tahlil, yasin, dan lainnya dalam ritual tersebut.

Di satu sisi, kebiasan tersebut sudah menjadi tradisi yang tidak bisa dihilangkan dari masyarakat. Sebagai bukti masih teringat jelas dalam ingatan penulis saat menjelang lengsernya orde baru, bangsa ini dilanda dengan berbagai gejolak kemasyarakatan akibat krisis di bidang perekonomian yang memberhentikan pasar modal. Mungkin bagi masyarakat desa, krisis tersebut tak begitu dihiraukan bahkan sampai dipikirkan, terbukti mereka tetap saja melangsungkan peringatan mitoni, matang puluhi, nyatusi, nyewuni hingga pada peringatan ngekholi.

Padahal, kita tahu di dalam peringatan tersebut tak luput dari memberikan makanan, minuman, maupun berkat (bahasa jawa), meskipun itu tidak dianjurkan namun pada gilirannya pemberian tersebut dimaknai sebagai sedekah. Kondisi inilah yang terjadi meski krisis berlangsung sampai setelah lengser orde baru, mereka tetap saja menjalankan ritual tersebut tanpa meninggalkan kebiasaan memberikan makanan, minuman dan berkat seperti jauh sebelum krisis terjadi.

Lalu, apakah masih perlu membahas peringatan tersebut sebagai anjuran Islam atau kebiasaan warisan dari nenek moyang, apalagi menanyakan apakah walisongo tidak mengetahui bahwa peringatan tersebut tak terdapat anjuran yang jelas dalam ajaran Islam? Mungkin menurut hemat penulis asumsi di atas sudah mewakili untuk menjawab pertanyaan yang telah terlontar. Bagaimana mungkin Islam Nusantara dikatakan kaya akan tradisi peringatan? Sebab sedikit-sedikit umat Islam selalu punya agenda peringatan mulai dari peringatan kelahiran Nabi hingga peringatan kematian para wali, kiai ataupun tokoh kharismatik lainnya.

Bila semua itu ditelusuri, pada dasarnya tanpa peduli apakah itu sebagai anjuran Islam, tradisi warisan nenek moyang, atau sebagai bukti penghormatan terhadap jasa mereka, walhasil muaranya berpangkal pada maksud dan tujuan diadakan peringatan itu semuanya. Marilah kita ambil salah satu contoh tradisi yang baru berlangsung sekitar satu minggu yang lalu dengan sebutan peringatan haul si mbah Sunan Pojok misalnya.

Peringatan tersebut dilakukan dengan maksud dan tujuan untuk mendoakan dengan memintakan ampun kepada Allah swt. agar orang yang meninggal (yang dihauli) dijauhkan dari segala siksa serta dimasukkan ke dalam surga. Untuk bersedekah dari ahli keluarganya atau orang yang membuat acara, orang yang membantu atau orang yang ikut berpartisipasi dengan diniatkan amal dan pahalanya untuk dirinya sendiri dan juga dimohonkan kepada Allah agar disampaikan kepada orang yang dihauli, untuk mengambil teladan dengan kematian seseorang bahwasanya kita semua pada akhirnya juga akan mati, sehingga hal itu akan menimbulkan efek positif pada diri kita untuk selalu meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. untuk meneladani kebaikan dari orang yang dihauli, dengan harapan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, dan untuk memohon keberkahan hidup kepada Allah melalui wasilah (media) yang telah diberikan kepada para ulama, sholihin atau waliyullah yang dihauli selama masa hidupnya dan kita tahu bahwa si mbah Sunan Pojok merupakan salah satu wali Allah swt. Yang perlu diteladani perilaku dan perjuangan beliau dalam menyebarkan Islam.

Dari penjelasan di atas, tidak tersirat sedikit pun tujuan haul yang mengarah pada kemeriahan dan penyekutuan sebagaimana halnya di atas. Haul adalah doa dan sedekah. Haul merupakan media untuk mengambil teladan dan meneladani, serta memohon keberkahan. Lalu, bagaimana tradisi haul ini membumi hingga lestari sampai saat ini? Untuk itu alangkah indahnya kita menelusuri lebih jauh dari manakah kata haul itu muncul. Dari beberapa keterangan, kata haul ini awalnya muncul dari dunia pesantren yang pada perkembanganya menjadi memasyarakat sebab haul selalu di isi dengan berbagai agenda salah satunya adalah pengajian umum yang mendatangkan mubaligh. Dari sinilah haul mulai dikenal masyarakat, apalagi yang didatangkan itu sudah terkenal dan dalam ceramahnya terdapat sedikit guyonan. Meski tanpa peduli apakah nanti berdampak positif atau tidak yang penting lucu dan ramai mereka pasti datang berduyun-duyun dan akhirnya tanpa kita mengenalkan apakah tujuan dan maksud haul itu dengan sendirinya kata haul membumi dan lestari hingga detik ini.

Pada perkembangannya, kata “haul” kemudian seringkali dimaknai sebagai kegiatan ritual keagamaan tahunan untuk memperingati hari meninggalnya orang yang dicintai atau orang yang diagungkan dan itu merupakan kebiasaan pesantren pada umumnya untuk mengenang jasa dan meneladani seorang kiai atau gurunya. Dari sinilah yang awalnya haul diadakan untuk mengenang dan meneladani seorang kiai oleh santri pondok pesantren, berkembang dengan beberapa agenda kegiatan dari ziarah  ke makam, tahlilan, hataman dan ditutup dengan pengajian umum. Kini menjadi sebuah tradisi memasyarakat yang seakan tak bisa dilepaskan dari mereka.

Dalam benak penulis timbul pertanyaan, mengapa harus ada haul? Bukankah haul sebetulnya hanyalah sebuah peringatan yang tak harus dilakukan?. Ya, memang betul haul adalah sebuah peringatan saja. Akan tetapi bila dilihat tujuan dan maksud dari haul tersebut pada intinya adalah untuk meneladani kebaikan seorang tokoh. Jadi alangkah indahnya haul itu diadakan asal tidak keluar dari tujuan dan maksud semula.

Nah, kalau mengenai mengapa harus orang yang meninggal? Sebetulnya bila dihadapkan pada asal-muasal kata haul tidak harus diperuntukkan khusus bagi orang yang meninggal. Sebab, pada intinya haul tak jauh berbeda dengan peringatan. Kita tahu, peringatan bisa diperuntukkan untuk siapa saja tak pandang itu mati atau hidup, baik atau buruk. Misalnya peringatan setahun dari kelahiran yang lebih dikenal dengan sebutan ulang tahun, jadi apabila ada yang memiliki sekedar wacana atau pemahaman bahwa haul terhadap orang korupsi, itu ada benarnya juga.

Akan tetapi,  meneladani itu biasanya identik dengan mencontoh perilaku baik. Untuk itu yang perlu diketahui adalah sejauh mana kita meneladani seorang tokoh yang kita hauli dengan bukti. Bukan hanya berhenti saat berlangsungnya haul saja, melainkan sesudah dan seterusnya.

 

 

Tinggalkan komentar