PLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN

Pandangan Al Qur’an tentang pluralisme agama. Konsep-konsep tersebut adalah :

  1. Mengakui eksistensi agama lain. (S. An-Nahl : 93)
  2. Memberinya hak untuk hidup berdampingan sambil menghormati pemeluk agama lain. (S. Al-An’am : 198)
  3. Menghindari kekerasan dan memelihara tempat-tempat beribadah umat beragama lain. (S. Al Hajj : 4)
  4. Tidak memaksakan kehendak kepada penganut agama lain. (S. Al Baqarah : 229)
  5. Mengakui banyaknya jalan yang dapat ditempuh manusia dan perintah berlomba-lomba dalam kebajikan. (S. Al Baqarah : 148)
  6. Islam mengakui umat manusia diatas dunia tidak mungkin semuanya sepakat dalam segala hal itu termasuk hal-hal yang menyangkut keyakinan agama. (S. Hud : 18-19)

Ayat tersebut digunakan Nur Kholis Madjid dalam pluralisme dan dialog agama.

Pluralisme Menurut Al-Qur’an

Al-Qur’an sebagai kitab suci (kitabun muthahharah) maupun sebagai pedoman hidup (hudan linnas) sangat menghargai adanya pluralitas. Pluralitas oleh al-Qur’an dipandang sebagai sebuah keharusan. Artinya bagaimanapun juga sesuai dengan “sunatullah”, pluralitas pasti ada dan dengan itulah manusia akan diuji oleh Tuhan untuk melihat sejauh mana kepatuhan mereka dan dapat berlomba-lomba dalam mewujudkan kebajikan.

Di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang mengakui adanya pluralitas sebagai sesuatu yang alamiah bahkan dikehendaki oleh Tuhan itu sendiri, yaitu:

  1. Surat al-Ma’idah: 48:

لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا ولوشاء الله لجعلكم امة واحدة ولكن ليبلوكم فى ما آتكم فاستبقوا الخيرات الى الله مرجعكم جميعا فينبئكم بما كنتم فيه تختلفون.

Artinya:

“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan.” [1]

 

Keterangan al-Qur’an di atas jelas merupakan pengakuan terhadap adanya pluralitas dalam agama. Dalam Tafsir Al-Mu’minin, Abdul Wadud Yusuf mengomentari ayat tersebut bahwa memang kehendak Allah-lah manusia dijadikan menjadi umat yang bermacam-macam. Karena jika seandainya Dia kehendaki manusia akan dijadikan satu umat saja dengan diberikan-Nya satu risalah dan di bawah satu kenabian. Tetapi Allah menghendaki manusia menjadi umat yang banyak (umaman) dan Dia turunkan bagi setiap umat itu satu orang Rasul untuk menguji manusia, siapa yang benar-benar beriman dan siapa yang ingkar.[2] Hal senada juga dikemukakan oleh Syaikh Ahmad Al-Shawi Al-Maliki dalam Hasyiyah Al-‘Allamah Al-Shawi Juz 1 bahwa, Allah sengaja memecah manusia menjadi beberapa kelompok yang berbeda untuk menguji mereka dengan adanya syari’at yang berbeda-beda (al-syara’I al-mukhtalifah) untuk mengetahui yang taat dan yang membangkang.[3]

Dalam ayat tersebutjuga disebutkan, bahwa perbedaan tidak dapat diperdebatkan sekarang, yakni pada saat orang tidak sanggup keluar atau melepaskan diri dari apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Allah-lah nanti yang akan menentukan mana yang benar. Sikap yang seharusnya diambil adalah membiarkan masing-masing orang berbuat menurut apa yang diyakininya.

  1. Surat al-Nahl: 93:

ولو شاء الله لجعلكم امة واحدة ولكن يضل من يشاء ويهدى من يشاء ولتسئلن عما كنتم تعملون.

Artinya:

“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” [4]

 

Ayat ini mempunyai substansi yang sama dengan ayat 46 surah al-Ma’idah tersebut di atas, yaitu mengemukakan kesengajaan Allah menciptakan perbedaan. Bahwa Tuhan tidak menjadikan manusia sebagai umat yang satu. Satu dalam pengertian, satu agama (millarun wahidatun) sehingga tidak berselisih faham dan berpecah-pecah seperti diungkapkan dalam tafsir Shafwatul Bayan Li Ma’anil Qur’an karya Syaikh Hasanain Muhammad Makluf (1994: 277)[5]

  1. Surat al-Baqarah: 148:

ولكل وجهة هو مولها فاستبقوا الخيرات اين ما تكونوا يأت بكم الله جميعا ان الله على كل شيء قدير. (البقرة: 148)

Artinya:

“Dan tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Dimana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu.” [6]

 

Al-Qur’an seperti tersebut dalam ayat di atas mengakui bahwa masyarakat terdiri dari berbagai macam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan sendiri-sendiri. Manusia harus menerima kenyataan keragaman budaya dan memberikan toleransi kepada masing-masing komunitas dalam menjalankan ibadahnya. Dengan keragaman dan perbedaan itu ditekankan perlunya masing-masing berlomba menuju kebaikan. Mereka semua akan dikumpulkan oleh Allah pada hari akhir untuk memperoleh keputusan final. Dikatakan oleh Heru Nugroho sebagaimana pernah termuat dalam Harian Kompas edisi 17 Januari 1997 dan Atas Nama Agama bahwa rahasia kemajemukan hanya diketahui oleh Allah, dan tugas manusia adalah menerima, memahami dan menjalani.[7]

  1. Surat al-Hujaraat: 13:

ياايها الناس انا جعلناكم من ذكر وانثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقاكم ان الله عليم خبير.

(الحجرات: 13)

Artinya:

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal. [8]

 

Makna substansial surat al-Hujaraat ayat 13 adalah, bahwa umat manusia harus menerima kenyataan kemajemukan budaya. Surah ini menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan, menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku (etnis), dengantujuan agar mereka saling mengenal dan menghargai. Dari kemajemukan itu yang paling mulia di sisi Allah adalah mereka yang paling bertaqwa kepada-Nya. Kemajemukan dalam ayat ini menunjuk pada keanekaragaman budaya seperti; gender, ras, suku, dan bangsa dalam rangka mendatangkan kebaikan dan kediaman di muka bumi.

 

Sikap Al-Qur’an Terhadap Pluralisme Agama

Perbedaan pendapat dalam segala aspek kehidupan manusia merupakan satu fenomena yang telah lahir dan akan berkelanjutan sepanjang sejarah kemanusiaan. Dalam al-Qur’an sendiri banyak terdapat pengakuan tentang adanya perbedaan. Perbedaan agama, keyakinan, budaya, dan pola berfikir.

Al-Qur’an sebagai kitab yang diturunkan untuk rahmat bagi semesta alam pada dasarnya sangat demokratis, sangat mengerti dan memperhatikan keadaan suatu kaum. Al-Qur’an mengakui adanya kenyataan beragamnya agama sebagai suatu bentuk perbedaan interpretasi terhadap teks-teks Tuhan yang ada dalam kitab-kitab suci. Namun al-Qur’an tidak mengakui adanya pluralisme agama sebagai bentuk keyakinan yang berbeda tentang ke-Esaan Tuhan. Artinya bahwa al-Qur’an akan menolak mentah-mentah segala ajaran yang mengandung unsur syirik di dalamnya. Untuk itu Allah menegaskan:

ومن يبتغ غير الاسلام دينا فلن يقبل منه وهو فى الآخرة من الخاسرين (العمران: 85)

Artinya:

“Dan barang siapa mencari agama selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima dan akhirat dia termasuk kaum yang merugi”. [9]

 

Adapun tafsirnya adalah :

Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi.

Namun demikian al-Qur’an yang mengakui adanya pluralisme agama sebagai sebuah fenomena, menganjurkan umat Islam untuk dapat menjaga hubungan baik dengan umat beragama lain. Di antara sikap al-Qur’an tersebut adalah tercermin sebagai berikut:

  1. 1.       Ajakan berbuat damai

ولولا دفع الله الناس بعضهم ببعض لهدمت صوامع وبيع وصلوات ومساجد يذكر فيها اسم الله كثيرا ولينصرن الله من ينصره إن الله لقوى عزيز. (الحج: 22)

Artinya:

“Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak di sebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar maha kuat lagi maha perkasa” (Q.S. Al-Hajj 22: 40). [10]

 

Tafsirnya adalah :

Katakanlah hai wahai ahli kitab marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan bahwa tidak ada perselisihan antara kami dan kamu bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain daripada Allah jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri kepada Allah.

Al-Qur’an, seperti yang termaktub dalam ayat di atas jelas tidak menghendaki adanya perseteruan antar agama (clash). Dengan adanya agama sebagai pedoman hidup hendaknya menjadikan seseorang sebagai sosok yang gandrung dengan kedamaian dan cinta kasih. Bukan sebaliknya sebagai jiwa perusak, seperti fenomena umat beragama saat ini yang gemar melakukan perusakan tempat ibadah umat beragama lain.

Mahatma Gandhi dalam All Men Are Brothers: Life and Thoughts of Mahatma Gandhi As Told in His Own Words (1958) yang dialihbahasakan dalam Semua Manusia Bersaduara menyatakan:

“Jika kita percaya Tuhan, tidak hanya dengan kepandaian kita, tetapi dengan seluruh diri kita maka kita akan mencintai seluruh umat manusia tanpa membedakan ras atau kelas, bangsa atau pun agama, kita akan bekerja untuk kesatuan umat manusia. Semua kegiatan saya bersumber pada cinta kasih saya yang kekal kepada umat manusia. Saya tidak mengenal perbedaan antara kaum keluarga dan orang luar, orang sebangsa dengan orang asing, berkulit putih atau berwarna, orang hindu atau orang india beragama lain, orang muslim, parsi, Kristen, atau yahudi. Saya dapat mengatakan bahwa jiwa saja tidak mampu membuat perbedaan-perbedaan semacam itu. Melalui suatu proses panjang melakukan disiplin keagamaan, saya telah berhenti membenci siapapun juga selama lebih dari empat puluh tahun ini”. (terdapat dalam kata pengantar, hal: xv)[11]

 

Sungguh merupakan jiwa yang sangat memukau dan dapat dikatakan sebagai manusia yang “Qur’aniy” sebab pemahamannya terhadap makna hidup beserta nilai-nilai kasih sayang dan perdamaian yang ada di dalamnya begitu tinggi.

Jika perbedaan jalan itu merupakan “sunatullah”, seharusnya perbedaan itu tidak menghalangi orang dalam kelompok tertentu menyampaikan “kebenaran” kepada kelompok lain. Terutama hal-hal yang merupakan isu bersama. Dalam al-Qur’an surah Ali Imran ayat 64, dilukiskan dengan indahnya tentang ajakan untuk menuju perdamaian yang nyata dengan:

قل يا اهل الكتاب تعلوا الى كلمة سواء بيننا وبينكم الا تعبد الا الله ولا تشرك به شيئا ولا يتخذ بعضنا بعضا اربابا من دون الله فإن تولوا فقولوا اشهدوا بانا مسلمون.(العمران: 64)

Artinya:

“Katakanlah, ‘hai ahli kitab, Marilah kita mengambil prinsip dasar untuk kita: bahwa kita tidak menyembah selain Allah, tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian lain Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah. ‘saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri kepada Allah.” [12]

 

  1. 2.       Larangan adanya unsur paksaan

Al-Qur’an tidak pernah membenarkan adanya paksaan dalam memeluk suatu agama karena itu berkaitan erat dengan hak-hak manusia yang perlu mendapatkan penghargaan setelah disampaikan pesan-pesan (message) al-Qur’an yang sesungguhnya. Ayat al-Qur’an, surah al-Baqarah ayat 256 menyebutkan:

لا اكراه فى الدين قد تبين الرشد من الغي فمن يكفر بالطاغوت ويؤمن بالله فقد استمسك بالعروة الوثقى لانفصام لها والله سميع عليم. (البقرة: 256)

 

Artinya:

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.” [13]

 

Ketiadaan adanya paksaan dalam beragama ini menurut Syaikh Nawawi seperti terdapat dalam Tafsir Marah Labid jilid 1, karena pada dasarnya seseorang sudah diberi potensi untuk membedakan barang yang haq dan bathil, keimanan dan kekufuran, petunjuk dan kesesatan (melalui banyaknyapetunjuk-petunjuk yang telah ada (al-dalaa’il) melalui ayat-ayat Qouliyah maupun kauniyah).[14]

Al-Qur’an hanya membenarkan adanya peringatan (mengingatkan), dalam surat al-Ghasyiah dinyatakan:

فذكر انما انت مذكر لست عليهم بمصيطر الا من تولى وكفر. فيعذبه الله العذاب الاكبر.

Artinya:

“… maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka, tetapi orang yang berpaling dan kafir. Maka Allah akan mengazabnya dengan yang besar”. [15]

 

Setelah peringatan-peringatan itu disampaikan dan ternyata tidak mau juga merambah jalan yang menuju kebenaran, maka keyakinan dan ritual-ritual yang mereka jalani menjadi urusan masing-masing dan tidak boleh ada perasaan permusuhan karena tertolaknya ajakan (surat al-Kaafirun). Keinginan untuk membawa orang lain mengikuti jalan kebenaran adalah sah menurut al-Qur’an, namun keputusan untuk ikut atau tidak diserahkan sepenuhnya kepada orang yang bersangkutan, bukan orang yang menginginkan.

Dalam sejarah secara nyata dipaparkan bagaimana pribadi seorang yang menjadi suri tauladan bagi umatnya, Muhammad utusan Allah tidak pernah melakukan pemaksaan. Karena disitulah letak ujian bagi seseorang. Terdapat dalam surat al-Kahf:

فلعلك باخع نفسك على اثارهم ان لم يؤمنوا بهذا الحديث اسفا. انا جعلنا ما على الارض زينة لها لنبلوهم ايهم احسن عملا.

(الكهف: 6-7)

Artinya:

“Maka barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak percaya kepada cerita al-Qur’an ini. Sesungguhnya kami telah menjadikan apa yang ada di perhiasan baginya, agar kami menguji mereka, siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya”. [16]

 

 

  1. 3.       Konsep Ukhuwah Islamiyyah

Ukhuwah sering diartikan sebagai sebuah bentuk atau hubungan persaudaraan antara seseorang dengan orang lainnya. Yang paling besar gaungnya adalah tentang ukhuwah islamiyah. Ukhuwah yang biasa diartikan sebagai “persaudaraan”, menurut M. Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an, terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti “memperhatikan”. Maka asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara.[17]

Dalam Wawasan Al-Qur’an konsep tentang “ukhuwah islamiyah” dibahas secara panjang lebar oleh M. Quraish Shihab. Menurutnya, istilah “ukhuwah islamiyah” ini perlu didudukkan maknanya, agar bahasan tentang “ukhuwah” tidak mengalami kerancuan. Untuk itu terlebih dahulu perlu dilakukan tinjauan kebahasaan untuk menetapkan kedudukan katan “Islamiyah” dalam istilah di atas. Selama ini ada kesan bahwa istilah tersebut bermakna “persaudaraan yang dijalin oleh sesama muslim”, atau dengan kata lain, “persaudaraan antar sesama muslim”, sehingga dengan demikian, kata “Islamiyah” dijadikan pelaku ukhuwah itu.

Pemahaman ini kurang tepat. Kata “islamiyah” yang dirangkaikan dengan kata ukhuwah lebih tepat dipahami sebagai “adjektifa”, sehingga “ukhuwah islamiyah” berarti “persaudaraan yang bersifat islami atau yang diajarkan oleh Islam”. (1996: 486-487). Paling tidak, ada dua alasan untuk mendukung pendapat ini. Pertama, al-Qur’an dan al-Hadits memperkenalkan bermacam-macam persaudaraan seperti; saudara kandung (QS Al-Nisa [4]: 23), saudara dalam arti sebangsa (QS al-A’raf [7]: 65), saudara semasyarakat, walaupum berselisih faham (QS Shaad [38]: 23), persaudaraan seagama (QS Al-Hujurat [49s]: 10), dan saudara yang dijalin oleh ikatan keluarga (QS Thaha [20]: 29-30). Kedua, karena alasan kebahasaan. Di dalam bahasa Arab, kata sifat selalu harus disesuaikan dengan yang disifatinya. Jika yang disifati berbentuk indefintif maupun feminin, kata sifatnya pun harus demikian. Ini terlihat jelas pada saat kita berkata Ukhuwah Islamiyah dan Al-Ukhuwah Al-Islamiyah”.

Berkaitan dengan ukhuwah islamiyah, Al-Qur’an memperkenalkan paling tidak empat macam persaudaraan:

  1. Ukhuwah di al-‘ubudiyyah, yaitu bahwa seluruh makhluk adalah bersaudara dalam arti memiliki kesamaan.

وما من دآبة فى الارض ولا طآئر يطير بجناحيه الا امم امثالكم ما فرطنا فى الكتاب من شيء ثم الى ربهم يحشرون.

 

Artinya:

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah kami alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab, kemudian kepada tuhanlah mereka dihimpunkan”. (QS 6: 38) [18]

 

Persamaan ini, antara lain, dalam ciptaan dan ketundukan kepada Allah (Al-Baqarah [2]: 28).

  1. Ukhuwah fi al-insaniyah, dalam arti keseluruhan umat manusia adalah bersaudara, karena mereka bersumber dari ayah dan ibu yang satu. Ayat al-Hujurat 12 menjelaskan tentang hal ini.rasul saw. Juga menekankannya dalam sabda beliau: “Kuunuu ‘ibadallah ikhwanaa al-‘ibad kulluhumikhwat”.
  2. Ukhuwah fi al-wathaniyah wa al-nasab. Persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan seperti yang disyaratkan oleh ayat wa ila ‘ad akhahum hud, dan lain-lain.
  3. Ukhuwah fi din al-Islam. Persaudaraan antar sesama muslim, seperti bunyi surah al-Ahzab 5. demikian juga dalam sabda Rasulullah saw.: “Kalian adalah sahabat-sahabatku, saudara-saudara kita adalah yang datang sesudah [wafat]-ku”.

Lebih lanjut M. Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an (1995: 359) menyatakan bahwa faktor penunjang lahirnya persaudaraan dalam arti luas ataupun sempit adalah persamaan. Semakin banyak persamaan semakin kokoh pula persaudaraan. Persaudaraan dalam rasa dan cita merupakan faktor yang sangat dominan yang mendahului lahirnya persaudaraan hakiki dan yang pada akhirnya menjadikan seorang saudara merasakan derita saudaranya. Sebagai contoh adalah mengulurkan tangan bantuan kepada saudaranya sebelum diminta serta memperlakukannya bukan atas dasar take and give tetapi justru “Mengutamakan orang lain walau dirinya sendiri kekurangan”.(Q.S. 59: 9)[19]

Dari fenomena yang dipaparkan di atas paling tidak sudah begitu mencukupi sebagai bukti bahwa al-qur’an benar-benar menghargai adanya pluralitas, pluralisme agama khususnya, sesuai pembahasan kali ini. Itu menunjukkan betapa al-Qur’an berisi penuh ajaran-ajaran kasih dan sayang. Tidak seperti yang dituduhkan para orientalis sementara ini.

 

Jihad dan Relevansinya Dengan Konsep Pluralisme Keagamaan

M. Darwan Raharjo (1996) dalam Ensiklopedi Al-Qur’an menyebutkan, jihad sebagai sebuah konsep penting dalam al-Qur’an berkaitan dengan hakikat sosial keberagaman Islam. Karena pemakaiannya dewasa ini biasa dikaitkan dengan peristiwa kerusuhan sosial, istilah jihad kini mengandung unsur “pejoratif”. Istilah itu sudah tereduksi, bahkan terdegradasi maknanya.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam al-Qur’an mengandung begitu banyak ayat-ayat yang menganjurkan perang dan bersikap bermusuhan dengan kaum ataupun golongan lain. Misalnya, ayat 120 yang terdapat dalam surah al-Baqarah:

ولن ترض عنك اليهود ولا النصرى حتى تتبع ملتهم قل ان هدى الله هو الهدى ولئن اتبعت اهواءهم بعد الذى جآءك من العلم ما لك من الله من ولي ولا نصير. (البقرة: 23)

 

Artinya:

“Orang-orang Yahudi dan nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolongbagimu”. [20]

 

Kemudian ayat yang menyatakan bahwa kaum muslimin seharusnya memerangi orang-orang yang tidak beriman dan ahli kitab:

قاتلوا الذين لا يؤمنون بالله ولا باليوم الآخر ولا يحرمون ما حرم الله ورسوله ولا يدينون الحق من الذين اوتوا الكتاب حتى يؤتوا الجزية عن يد وهم صاغرون.

Artinya:

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian dan mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu orang-orang yang diberi kitab, jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”. (QS. At-Taubah [9]: 29) [21]

 

Ayat-ayat ini barangkali yang membentuk karakter yang keras kepada pemeluk yang berbeda-beda disamping ayat “Asyiddaa ‘ala al-kuffaar”. (QS. Al-Isra’). Al-Qur’an memang mengandung ayat-ayat yang secara sekilas memberikan pemahaman yang bertentangan dan banyak orang yang mengambil bagian-bagian yang sesuai dengan kepentingan atau cara pandang mereka.

Menurut Machasin (1999) dalam Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, bahwa mereka akan mentakwilkan atau tidak mau membaca ayat-ayat lain yang tidak sesuai menurut mereka. Tidak heran jika Islam oleh sementara orang-orang barat dipandang sebagai kaum-kaum teroris yang keji. Islam dengan konsep jihadnya dipandang sebagai umat yang menyukai kekerasan. Jelasnya, bahwa masih banyak orang yang belum paham dengan substansi jihad itu sendiri, bahkan orang-orang Islam sekalipun.[22]

Jihad menurut tuntunan al-Qur’an adalah alternatif terakhir dan satu-satunya jalan yang ditempuh, tidak ada jalan lainnya. Dasarnya adalah pesan Rasulullah saw. Ketika kembali dari perang badar, perang besar antara kaum muslimim melawan kaum kuffar yang berlipat-lipat jumlahnya, nabi Muhammad saw. Bersabda:

رجعنا من الجهاد الاصغر الى الجهاد الاكبر الجهاد الاكبر هو الجهاد النفس.

Artinya

“Ketika telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar (jihad el-akbar) yaitu jihad melawan hawa nafsu”. (Al-Hadits)

 

Artinya, jihad dengan senjata itu bukan hal yang utama, melainkan yang lebih utama adalah jihad melawan hawa nafsu sendiri sebagai sumber kerusakan. Marcel A. Boisard dalam Humanisme Dalam Islam yang berjudul asli L’humanisme De L’islam, menyatakan bahwasanya doktrin Islam telah membentuk suatu hirarki tentang nilai-nilai. Jihad yang paling tinggi adalah jihad yang dilakukan terhadap “hawa nafsunya” sebagaimana dikatakan oleh hadits nabi. Usaha pribadi ini dianggap “perang suci yang terbesar”. Dengan begitu maka perang suci dengan senjata menjadi nomor dua secara relatif, dan hanya merupakan manifestasi yang paling konkret dari jihad.[23]

Jihad dalam Islam adalah jalan satu-satunya yang bisa dilakukan sebagai upaya membela diri. Sedangkan diantara sebab-sebab yang membolehkan perang adalah untuk mempertahankan masyarakat, dan melindungi orang yang dianiaya pada umumnya. Hal tersebut senada dengan Boisard bahwa dalam bidang “perang suci” dengan senjata, kaum muslimim berkewajiban untuk melakukannya dalam bentuk mempertahankan diri dari serangan-serangan. Yang dilukiskan oleh doktrin yuridis Islam dalam enam tipe: jihad terhadap musuh-musuh Tuhan, jihad untuk menjaga tapal batas (ribat), jihad terhadap orang-orang murtad dan orang-orang yang memisahkan diri (baghi), terhadap gerombolan-gerombolan yang mengacau keamanan dan terhadap kaum menoteis yang menolak membayar “jizyah”.[24]

Sikap al-Qur’an terhadap agresi sangat jelas. Kecenderungan alamiah untuk melakukan kekerasan, kehausan untuk dominasi, keinginan untuk membalas dendan, keuntungan material, kemauan untuk merampas hk orang lain, adalah sebab-sebab jahat dan zalim. Dengan ringkas, agresi adalah terlarang. Bagi literatur Islam, perang-perang yang dilakukan nabi Muhammad saw. Menunjukkan sifat-sifat khusus perang Islam, yaitu adil dalam motifnya, defensive dalam permulaannya, tinggi dalam cara pelaksanaannya, damai dalam tujuan akhirnya, dan berperikemanusiaan dalam memperlakukan mereka yang dikalahkan.

Menurut Alwi Shihab, seperti yang terdapat dalam Islam Inklusif bahwa tuduhan yang sering dilontarkan oleh sebagian kaum orientalis bahwa Islam adalah “agama pedang”, yang menganjurkan aksi-aksi radikal pada umumnya, mendasarkan argumentasinya dalam dua hal. Pertama adalah dalam interaksinya dengan kekuatan eksternal (non-Islam), Islam telah berhasil menyebarkan sayapnya dan menancapkan kakinya melalui ekspansi militer jauh dari titik geografis kelahirannya. Bukti sejarah menunjukkan ekspansi teritorial Islam yang tak terbendung pada masa formatifnya sampai ke daratan eropa di barat dan benua india di timur.[25]

Kedua, hubungan internal umat Islam yang berlangsung antara kelompok oposisi dengan penguasa sejak pembunuhan khalifah utsman r.a. sampai sekarang selalu diwarnai oleh kekerasan. Corak kekerasan ini bagi sebagian orientalis adalah konsekuensi logis penekanan konsep jihad dalam kehidupan politik Islam.

Asumsi sebagian orientalis tentang kaitan Islam dengan radikalisme adalah akibat persepsi keliru tentang arti dan fungsi jihad dalam Islam. Adalah tidak benar asumsi yang menyatakan bahwa jihad identik dengan aksi mengangkat senjata. Jihad dalam pengertian etimologis adalah usaha sungguh-sungguh yang tidak mengenal lelah.

Karena itu dapat dikatakan bahwa jihad dengan mengangkat senjata adalah jihad dalam pengertian yang sempit. Dalam al-Qur’an dikenal dua ketegori untuk jihad; pertama, jihad fi  sabilillah, dimaksudkan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam menempuh jalan Allah, termasuk di dalamnya pengorbanan harta dan nyawa (konfrontasi). Kedua, jihad fillah adalah usaha untuk memperdalam aspek spiritual sehingga terjalin hubungan erat antara seseorang dengan Allah. Usaha sungguh-sungguh ini diekspresikan melalui penundukan tendensi negatif yang bersarang di jiwa tiap manusia, dan penyucian jiwa sebagai titik orientasi seluruh kegiatan.

Untuk memperjelas substansi jihad tidak diidentikkan dengan aksi mengangkat senjata, al-Qur’an membedakan antara konsep qital (interaksi bersenjata) dengan konsep jihad. Jihad jelasnya menunjuk kepada suatu konsep yang komprehensif, di mana salah satu sisinya adalah berjuang di jalan Allah melalui penggunaan senjata.

Jihad dalam pengertian yang sempit (mengangkat senjata) inilah agaknya yang banyak dipegangi oleh para orientalis dan sebagian umat Islam sehingga tidak heran dapat menimbulkan antagonisme diantara mereka. Kasus seperti yang terjadi di ambon tentang adanya laskar jihad banyak menimbulkan pro dan kontra bahkan di kalangan umat Islam sendiri. Gus Dur sebagai kepala negara tidak menyetujui dikirimkannya laskar jihad dari jawa karena urusan itu biar mereka sendiri yang menyelesaikan, lagi pula akan memancing datangnya laskar salib dari daerah lain seperti NTT dan Papua. Namun ustadz Ja’far memandang bahwa jihad ini wajib adanya bagi umat Islam, dan jihad disini adalah jihad kemanusiaan, artinya tidak harus turun ke medan laga untuk bertahan.

Dengan adanya jihad dalam pengertian yang sebenarnya tidak akan menghambat proses pembumian kesadaran pluralisme agama pada umat-umat beragama. Untuk itulah mengapa perlu dijelaskan tentang konsep jihad yang sebenarnya menurut cara pandang Islam yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan al-Hadits.


[1]Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Maidah (3) : 48, hal. 168.

[2]Yusuf, Abdul Wadud, Tafsir al-Mu’minin, (Beirut: Dar al-Fikr, tt) hal. 62

[3]Al-Maliky,Syaikh Ahmad Al-Shawi, Hasyiah Al-‘Allamah Al-Shawy ‘Ala Tafsir Al-Jalaluddin, (Surabaya: Dar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah, tt), hal. 287

[4]Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. An Nahl (16) : 93, hal. 416

[5]Makhluf,  Syaikh Hasanain Muhammad,  Shafwatul Bayan Li Ma’anil Qur’an, (Cairo: Darul Basya’ir, 1994) hal. 277

[6]Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Baqarah  (2) : 148, hal. 38

[7]Nugroho, Heru,  Atas Nama Agama, (Bandung: Pustaka Hidayah, Cet. I, 1998) hal. 64.

[8]Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Hujurat (49) : 13, hal. 847.

[9] Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Ali ‘Imran (3) : 85, hal. 90

[10] Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al-Hajj (22) : 40, hlm. 518

[11]Gandhi, Mahatma, Semua Manusia Bersaudara, (Jakarta: Gramedia, 1998) hal. 15

[12]Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Ali Imron (3) : 64, hal. 86

[13]Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Baqarah (2) : 256, hal. 63.

[14]Tafsir Marah Labid, Jilid I, 82.

[15]Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Ghaasyiyah (88) : 21-23, hal. 1055

[16]Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Kahfi (18) : 6-7, hal. 443-444

[17]Shihab,  M. Quraish, Wawasan …. , hal. 486.

[18]Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al  An’am (6) : 38, hal. 192

[19]Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, Cet. XI, 1995) hal. 359

[20]Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Baqarah (2) : 120, hal. 32

[21]Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. At Taubah (9) : 29, hal. 282

[22] Machasin, Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, 1999.

[23] Boisard, Marcel A. Humanisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 259

[24] Ibid, hal. 259.

[25]Shihab, Alwi, Op. Cit., hal. 283

 

Tinggalkan komentar