Ketika Kaum Hawa diatas Pelangi

By:

Nur Chilwa Layyina (mahasiswi semester V STAI Khozin)


Terompet kebebasan telah ditiup, persamaan hak dan wewenang telah direalisasikan, world view yang selama ini agak kabur diluruskan dan difokuskan pada titik konfergensi yang lebih utuh. Dari background ini, tuntutan untuk menjadi entitas yang mandiri dan independen menjadi sebuah keniscayaan, karena mau tidak mau realitas dari tuntutan hidup tidak bisa di nafikan. Maka untuk menyikapi ini, perlunya mempunyai orientasi dasar untuk mengembangkan rasa tanggung jawab pada personal, keluarga, masyarakat dan bangsa.

Rancang bangun ini mempunyai alasan kuat untuk menggelindingkan atau mengoperasionalkan pada tatanan yang lebih riil. Buktinya, analisa-analisa yang dihasilkan atas fenomena sejarah masa lalu seperti dalam Yunani, india, Hamurabi, arab jahiliah dan sebagainya mempunyai titik terang bahwa mereka  telah terang-terangan memarginalkan harkat martabat kaum feminin. Jika kita mau kritis atas fenomena masa lalu, maka muncul sebuah kongklusi bahwa kaum maskulin melakukan kesewenang-wenangan  memarginalkan, memberangus hak, mengaburkan wewenang dan melebur kebebasan.

Banyak realitas sejarah yang menorehkan history  kala itu, seperti ketika sang suami meninggal, sang istri tidak mendapatkan warisan, , sang istri harus ikut menyusul suami ke alam baka’ dengan membakar dirinya ketika acara persemayaman jasad suaminya (di India), seorang wanita tidak mempunyai hak untuk berdagang, memberi pendapat dan nasib hidupnya ditentukan oleh saudara laki-lakinya. Akan tetapi dengan datangnya ajaran Islam, budaya dan tradisi itu mulai diredam, disisihkan dan diberangus.

Ironisnya, walaupun ajaran Islam sudah melekat, syariat Islam sudah merasuk tapi masih ada interpretasi  teks yang menggulirkan tafsir-tafsir misoginis yang isinya memojokkan eksistensi wanita.  Selain itu, banyak prajudis yang muncul  bahwa budaya masa lalu yang diberangus dan dihilangkan masih tersisa benih-benihnya, sehingga tradisi-tradisi yang mempunyai kesan negative masih terjadi.

Konsekuensi dari semua ini, kaum feminin harus mampu tampil ekstra untuk menghapus mitos masa silam. Dengan kata lain, Harus mampu menciptakan imajinasi tingkat tinggi bahwa Kaum hawa bukanlah entitas penghambat kemajuan dunia,  tapi ia merupakan piranti pembangkit untuk membangun dunia. Wanita bukanlah elemen peredup sejarah, tapi ia merupakan pelangi dunia yang menjadikan alam ini indah. Selain itu perempuan yang berada di dunia ini bukanlah faktor   atau penyebab masuknya Neraka, tapi merupakan komunitas yang menciptakan statemen bahwa Sorga  itu tidak akan indah tanpa wujud dan kehadiran para bidadari-bidadari.

Ada titik tolak yang lebih urgen dari semuanya, yang selama  ini telah dilupakan  para cendikia-cendikia, entah karena para cendikia ini berpihak  pada komunitas mereka atau karena ego mereka yang  menginginkan selalu menjadi  Raja-diraja. Selain itu, mereka  terkesan egosentris terhadap fenomena sosial yang terjadi di sekitarnya. Banyak contoh yang bisa dijadikan sample atas analisa ini, satu kasus adalah  ketetapan mahar yang diberikan kepada seorang  wanita. Para agamawan  lebih banyak menyerukan bahwa sebaik-baik wanita adalah wanita yang mau diberi mahar sedikit. Padahal disudut lain, kaum hawa mempunyai  hak penuh  untuk minta mahar sebesar-besarnya  terhadap kaum adam. Dan jika kaum adam tidak mampu memberikannya, maka  rambu lampu hijau  sudah siap dinyalakan untuk mempersilahkan berundur diri.

Selama ini, masih tercipta image negatif pada beberapa hadits yang sepertinya memarginalkan dan merendahkan eksistensi seorang perempuan. Sebagai contoh adalah hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Abbas. Rasulullah berkata” Saya melihat neraka Dan saya tidak pernah melihat pemandangan yang lebih mengerikan seperti hari ini. Saya melihat kebanyakan penduduk Neraka adalah perempuan”. mereka berkata” sebabnya apa ya Rasulallah? Rasulullah menjawab” karena perbuatan kufurnya“. “dikatakan juga karena kufurnya kepada Allah Swt. Rasulullah berkata “karena mereka mengkufuri kerabat dan kebaikan. Jika kamu melakukan kebaikan dalam satu tahun kepada salah satu perempuan, kemudian ia melihat sedikit kejelekanmu, maka perempuan itu akan mengatakan “saya tidak melihatmu (laki-laki) sebuah kebaikan sama sekali”.

Dari hadits ini muncul sebuah pertanyaan, apakah wanita memang penduduk yang terbanyak menghuni neraka dikarenakan sifat-sifat kejelekannya atau memang karena sudah fitrah?

Dari statemen ini, setidaknya ada auto kritik yang dimunculkan, jika ditelisik lebih dalam, maka pemahaman yang mucul bukanlah seperti itu, tapi menunjukan bahwa mereka para wanita mempunyai tanggung jawab atas apa yang mereka lakukan dan mendapatkan siksa atas perbuatan kufurnya. Paparan ini selaras dengan Abdul Halim Muhammad Abu Syaqah dan Ibnu Hajar al-Asqalani, bahwa wanita yang masuk neraka adalah wanita-wanita yang mempunyai sifat jelek seperti ketika dimintai sesuatu tidak memberi dan ketika diberi tidak ada rasa syukur atau berterima kasih. Sebenarnya hal ini bisa diminimalisir dengan adanya pendidikan yang memadai sehingga tercipta  pola pikir yang dewasa.

Hadits ini bisa dikorelasikan dengan ucapan Rasulullah “ketika saya berada di Surga, saya melihat bahwa kebanyakan penduduknya adalah orang-orang fakir” dari sini muncul sebuah pertanyaan, kenapa justru orang-orang kaya sedikit yang masuk Surga? Karena sangat besar kemungkinan bahwa orang-orang kaya banyak mengambil harta haram, menggunakan pada hal-hal haram atau mereka enggan menggunakan hartanya dijalan kebaikan.

Dari titik tolak ini, hendaknya tidak mengatakan bahwa wanita adalah biang fitnah sehingga mereka banyak yang masuk neraka. Akan tetapi, seyogyanya kita lebih bisa bersikap fear terhadap problema ini. Maka, solusi yang ada hendaklah para wanita menghindari sikap-sikap yang tercela sehingga mereka terhindar dari jeratan api neraka. Begitu juga sebaliknya, para laki-laki-pun bisa jadi adalah orang-orang yang banyak masuk neraka jika mereka kaum laki-laki melakukan hal-hal yang dilarang agama.

Dari sini, perlunya ada jargon bahwa wanita bukanlah entitas yang terpuruk, perempuan bukanlah elemen yang terkekang, kaum feminine tidaklah  sebuah  piranti  yang mati suri. Tapi mereka adalah kaum hawa yang sekarang ini dan sampai nanti  di atas pelangi  yang akan menciptakan keindahan, keteduhan dan kedamaian.

Tinggalkan komentar